Blog cak alief

Tak pernah berhenti berjuang…

Resensi Buku Soe Hok Gie oleh Arief Budiman

Pagi-pagi ngecek e-mail dari group M-ITS kok dapat forward-an tentang Pola Pengembangan SDM di Himpunan Teknik Mesin, trus ada yang nge-reply tentang Soe Hok Gie (padahal gak nyambung). Tapi karena saya lagi nganggur, jadi meski gak nyambung tetap tak buka aja link-link nya yang ke wikipedia. Setelah baca Gie di wikipedia trus dapat link baru di bawah ini. http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/12886

Karena menurut saya bagus dan eman kalo dibiarkan begitu saja, jadi tak copy paste ke blog ini. Itung-itung untuk dokumentasi pribadi, biar gak kesulitan kalo di kemudian hari butuh. Semoga bisa dinikmati bagi yang berkenan, dan mohon maaf kalo ada yang sudah sering mbaca.

Resensi Buku Soe Hok Gie oleh Arief Budiman

Ada dua hal yang membuat saya sulit untuk menulis tentang almarhum adik saya, Soe Hok Gie. Pertama, karena terlalu banyak yang mau saya katakan, sehingga saya pasti akan merasa kecewa kalau saya menulis tentang dia pada pengantar buku ini. Kedua, karena bagaimanapun juga, saya tidak akan dapat menceritakan tentang diri adik saya secara obyektif. Saya terlalu terlibat di dalam hidupnya. Karena itu, untuk pengantar buku ini, saya hanya ingin menceritakan suatu peristiwa yang berhubungan dengan diri almarhum, yang mempengaruhi pula hidup saya dan saya harap, hidup orang-orang lain juga yang membaca buku ini.

Saya ingat, sebelum dia meninggal pada bulan Desember 1969, ada satu hal yang pernah dia bicarakan dengan saya. Dia berkata, “Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian”.

Saya tahu, mengapa dia berkata begitu. Dia menulis kritik-kritik yang keras di koran-koran, bahkan kadang-kadang dengan menyebut nama. Dia pernah mendapat surat-surat kaleng yang antara lain memaki-maki dia sebagai “Cina yang tidak tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja”. Ibu saya sering gelisah dan berkata: “Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang”. Terhadap ibu dia cuma tersenyum dan berkata “Ah, mama tidak mengerti”.

Kemudian, dia juga jatuh cinta dengan seorang gadis. Tapi orangtuanya tidak setuju – mereka selalu dihalangi untuk bertemu. Orangtua gadis itu adalah seorang pedagang yang cukup kaya dan Hok Gie sudah beberapa kali bicara dengan dia. Kepada saya, Hok Gie berkata: “Kadang-kadang, saya merasa sedih. Kalau saya bicara dengan ayahnya si., saya merasa dia sangat menghargai saya. Bahkan dia mengagumi keberanian saya tanpa tulisan-tulisan saya. Tetapi kalau anaknya diminta, dia pasti akan menolak. Terlalu besar risikonya. Orang hanya membutuhkan keberanian saya tanpa mau terlibat dengan diri saya”.

Karena itu, ketika seorang temannya dari Amerika menulis kepadanya: “Gie seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, Selalu. Mula-mula, kau membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus-menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian, penderitaan”. Surat ini dia tunjukkan kepada saya. Dari wajahnya saya lihat dia seakan mau berkata: Ya, saya siap.

Dalam suasana yang seperti inilah dia meninggalkan Jakarta untuk pergi ke puncak gunung Semeru. Pekerjaan terakhir yang dia kerjakan adalah mengirim bedak dan pupur untuk wakil-wakil mahasiswa yang duduk di parlemen, dengan ucapan supaya mereka bisa berdandan dan dengan begitu akan tambah cantik di muka penguasa. Suatu tindakan yang membuat dia tambah terpencil lagi, kali ini dengan beberapa teman-teman mahasiswa yang dulu sama-sama turun ke jalanan pada tahun 1966.

Ketika dia tercekik oleh gas beracun kawah Mahameru, dia memang ada di suatu tempat yang terpencil dan dingin. Hanya seorang yang mendampinginya, salah seorang sahabatnya yang sangat karib. Herman Lantang. Suasana ini juga yang ada, ketika saya berdiri menghadapi jenazahnya di tengah malam yang dingin, di rumah lurah sebuah desa di kaki Gunung Semeru. Jenazah tersebut dibungkus oleh plastik dan kedua ujungnya diikat dengan tali, digantungkan pada sebatang kayu yang panjang, Kulitnya tampak kuning pucat, matanya terpejam dan dia tampak tenang. Saya berpikir: “Tentunya sepi dan dingin terbungkus dalam plastik itu”. Ketika jenazah dimandikan di rumah sakit Malang, pertanyaan yang muncul di dalam diri saya alah apakah hidupnya sia-sia saja? Jawabannya saya dapatkan sebelum saya tiba kembali di Jakarta.

Saya sedang duduk ketika seorang teman yang memesan peti mati pulang. Dia tanya, apakah saya punya keluarga di Malang? Saya jawab “Tidak. Mengapa?” Dia cerita, tukang peti mati, ketika dia ke sana bertanya, “untuk siapa peti mati ini?” Teman saya menyebut nama Soe Hok Gie dan si tukang peti mati tampak agak terkejut. “Soe Hok Gie yang suka menulis di koran?” Dia bertanya. Teman saya mengiyakan. Tiba-tiba, si tukang peti mati menangis. Sekarang giliran teman saya yang terkejut. Dia berusaha bertanya, mengapa si tukang peti mati menangis, tapi yang ditanya terus menangis dan hanya menjawab “Dia orang berani. Sayang dia meninggal”.

Jenazah dibawa oleh pesawat terbang AURI, dari Malang mampir Yogya dan kemudian ke Jakarta. Ketika di Yogya, kami turun dari pesawat dan duduk-duduk di lapangan rumput. Pilot yang mengemudikan pesawat tersebut duduk bersama kami. Kami bercakap-cakap. Kemudian bertanya, apakah benar jenazah yang dibawa adalah jenazah Soe Hok Gie. Saya membenarkan. Dia kemudian berkata: “Saya kenal namanya. Saya senang membaca karangan-karangannya. Sayang sekali dia meninggal. Dia mungkin bisa berbuat lebih banyak, kalau dia hidup terus”. Saya memandang ke arah cakrawala yang membatasi lapangan terbang ini dan hayalan saya mencoba menembus ruang hampa yang ada di balik awan sana. Apakah suara yang perlahan dari penerbang AURI ini bergema juga di ruang hampa tersebut?

Saya tahu, di mana Soe Hok Gie menulis karangan-karangannya. Di rumah di Jalan Kebon jeruk, di kamar belakang, ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik suram, karena voltase yang selalu turun kalau malam hari. Di sana juga banyak nyamuk. Ketika orang-orang lain sudah tidur, seringkali masih terdengar suara mesin tik dari kamar belakang Soe Hok Gie, di kamar yang suram dan banyak nyamuk itu, sendirian, sedang mengetik membuat karangannya. Pernahkan dia membayangkan bahwa karangan tersebut akan dibaca oleh seorang penerbang AURI atau oleh seorang tukang peti mati di Malang?

Tiba-tiba, saya melihat sebuah gambaran yang menimbulkan pelbagai macam perasaan di dalam diri saya. Ketidakadilan bisa merajalela, tapi bagi seorang yang secara jujur dan berani berusaha melawan semua ini, dia akan mendapat dukungan tanpa suara dari banyak orang. Mereka memang tidak berani membuka mulutnya, karena kekuasaan membungkamkannya. Tapi kekuasaan tidak bisa menghilangkan dukungan dukungan itu sendiri, karena betapa kuat pun kekuasaan, seseorang tetap masih memiliki kemerdekaan untuk berkata “Ya” atau “Tidak”, meskipun Cuma di dalam hatinya.

Saya terbangun dari lamunan saya ketika saya dipanggil naik pesawat terbang. Kami segera akan berangkat lagi. Saya berdiri kembali di samping peti matinya. Di dalam hati saya berbisik “Gie, kamu tidak sendirian”. Saya tak tahu apakah Hok Gie mendengar atau tidak apa yang saya katakan itu. Suara pesawat terbang mengaum terlalu keras.

Arief Budiman (Soe Hok Djin)
(seperti dimuat dalam buku Catatan Seorang Demonstran edisi 1993)

Agustus 20, 2007 - Posted by | ke-hidup-an

42 Komentar »

  1. Yang penting dimana kita bisa bermanfaat Cak 🙂

    Komentar oleh aRuL | Agustus 20, 2007 | Balas

  2. Untung cak Alief dapat resensi itu, bagus cak.

    Komentar oleh Paijo | Agustus 21, 2007 | Balas

  3. bisa jadi referensi bacaan nih.
    Lam kenal ya, Mas. ngunjung-ngunjungin blog yuk…

    Komentar oleh Suci | Agustus 21, 2007 | Balas

  4. ape dikapakne maba mesin 2007??? adikku ada diantara mereka lho.

    Komentar oleh candra | Agustus 23, 2007 | Balas

  5. resensi ini ada di buku itu juga kan?

    (sebenarnya pengantar buku kali mas…:)

    Komentar oleh noertika | Agustus 25, 2007 | Balas

  6. Penerbang AURI & tukang peti menyayangkan Soe Hok Gie mati muda, tapi Soe Gie keliatannya lebih suka mati muda.(eh iya nggak sih?)

    Komentar oleh mufti | Agustus 26, 2007 | Balas

  7. # arul:
    setuju

    # paijo:
    terima kasih

    # suci:
    salam kenal juga

    # candra:
    hehe… gak-gak lek sampe diajar karo ditendangi. Saiki wis gak jamane ngono rek…

    # noertika:
    menurutku sih juga pengantar buku, tapi aku tinggal copy paste aja sih.. 🙂

    # mufti:
    suka gak suka, kalo sudah waktunya mati ya gak bsa ditunda….

    Komentar oleh Alief | Agustus 28, 2007 | Balas

  8. terima kasih cak alief telah mengingatkan kaum muda untuk mencari kebenaran dari sebuah kebenaran dari sosok Gie, keadaan negara yang serba semerawut ini akibat dari segelintir orang yang membuat negara menjadi bukan lagi menjadi milik rakyat, harus didobrak dengan semangat Gie untuk merubah negara ini menjadi lebih baik dengan cara yang gentle, tanpa kekerasan tanpa pertumpahan darah.

    Komentar oleh cahyo adi basuki | September 6, 2007 | Balas

  9. Walaupun saya tidak pernah bertemu dengan Soe Hok Gie. Tapi saya sangat simpatik dengan kerjanya yang bisa menggulirkan Soekarno pada saat itu. Mungkin terlalu dini untuk bilang bahwa saya sebagai “Generasi muda akan menjadi generasi yang akan memakmurkan Indonesia.” Saya mengenal Gie lewat buku yang banyak saya baca tentangnya baik Zaman Peralihan, Catatan Seorang Demonstran dan juga filmnya. Gie telah banyak memberikan saya inspirasi dalam hidup saya. Mungkin raganya bisa saja mati tapi jiwanya akan terus terkenang. Gie tidak mati sia-sia, saya yakin prinsip ideologinya akan terus saya bawa sampai saya hilang nyawa dan pasti juga akan banyak generasi muda yang akan mengikuti ideologi Gie. Bagiku Gie merupakan kaum Intelegensia yang terbuang.

    Komentar oleh Dhika | September 15, 2007 | Balas

  10. KITALAH GENERASI YANG AKAN MEMAKMURKAN INDONESIA
    saya kagum dengan GIE yang bersih keras menentang soekarno dan menjadi inspirasi bagi para pemuda indonesia untuk dapat memberikan pendapat yang lain, GIE meskipun sekarang engkau tidak disini tapi engkau akan dikenang Indonesia

    Komentar oleh indra | November 11, 2007 | Balas

  11. #cahyo #dhika #indra:

    membaca komentar2 sampean, saya jadi pingin nyanyi lagu “padamu negeri”

    padamu negeri, kami berjanji
    padamu negeri, kami berbakti
    padamu negeri, kami mengabdi
    bagimu negeri, jiwa raga kami

    Komentar oleh alief | November 16, 2007 | Balas

  12. Soe Hok Gie, gitu lo..

    “perempuan akan selalu dibawah laki laki jika yang dipikirkannya hanya baju dan kecantikan.”
    -Soe Hok Gie-

    Komentar oleh fanaticanz | November 16, 2007 | Balas

  13. Soe…

    jika saat ini engkau masih ada,
    akan kutemui dirimu dimanapun berada,

    oh ya da yg tau g dimana bisa ngedapetin bukunya, aku dah nyari tapi g dapet2,
    tlong y,

    kalo tau kirim email kesini aja soe_hok_gie90@yahoo.com
    tahks 🙂

    Komentar oleh Imam | Mei 14, 2008 | Balas

  14. saya hampir menitikkan air mata melihat “kesepian” GIe sebagaimana ditulis cak arief, namun setelah saya sadar bahwa semua yang dilakukannya bukanlah kesia-siaan, saya merasa terhbur. Bahkan seandainya tak ada tukang peti dan pilot yang menyayangkan kematiannya, sudah cukup maut sendiri bersedih karena menemuinya terlalu dini. Salam kenal, mas arief.

    Komentar oleh M. Sanusi | Juni 10, 2008 | Balas

  15. salam kenal mak arief.
    terima kasih sudah berbagi.
    mengingatkan kembali kalau belum ada apa-apa yang sudah saya lakukan. masih tahap memulai, dan perjalanan masih panjang… untuk meneruskan perjuangan “sang demonstran” terhadap tirani dan kemunafikan.
    salam -japs-

    Komentar oleh japspress | Juni 18, 2008 | Balas

  16. ada salam dari bapak saya cak, gusti made raka. katanya temen panjenengan dulu di satya wacana salatiga. beliau lg nyari tulisan om gie yg tentang pembunuhan massal pki di bali 65-66. bisa bantu saya cak? aku udah mumet nyariin di dunia nyata maupun maya… mumpung nemu blog ya skalian nunut ajah..
    Matur tengkyu yg buanyaaakkk…

    salam dari saya juga,

    fra

    Komentar oleh fra | Juni 24, 2008 | Balas

  17. salam kenal ya mas alief..
    buku gie emang bagus banget deh,, ga cukup hatam sekali!
    buku ini benar2 jadi inspirasi buat saya loh! saya sadar sjak baca buku ini bahwa saya sebagai generasi muda ngri ini blum bisa apa2, dan betapa hebat pemikiran alm gie pda saat itu.
    pokoknya SOE HOK GIE dan buku nya benar2 menginspirasi saya!
    bahkan papa sama mama saya juga ikut2an baca, mereka juga bilang bagus!

    “lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikkan”

    Komentar oleh imti hadi | Juli 15, 2008 | Balas

  18. Saya seorang anak yang terlahr dizaman akhir,dengan kondisi pemerintahan, pembangunan dan kebebasan untuk memberikan pendapat semuanya tidak sesulit dulu. Tapi saya sadar…sekarang ini tidak ada
    satu manusiapun yang memiliki cara berfikir seperti sosok SOE HOK GIE,bahkan termasuk saya (mungkin) dan kita tau….kalau saja alm. SOE
    HOK GIE masih hidup dia akan menangis karena kebodohan-kebodohan generasi sekarang dan semua yang telah dia perjuangkan jadi sia-sia.
    Tolong sampaikan pesan saya ini untuk generasi-generasi tersesat.

    Komentar oleh Firman | Juli 29, 2008 | Balas

  19. Saya jadi semakin sedih dengar cerita dari kakaknya Soe Hok Gie yang lebih detail ini, karena sebelumnya saya hanya tahu cerita secara umum saja. Mungkin kalau saya ada di zaman itu, saya pasti juga akan menangis sejadi-jadinya seperti tukang peti mati itu. Soe Hok Gie memang pemberani.

    Komentar oleh Lynna | Agustus 23, 2008 | Balas

  20. cedih………

    Komentar oleh chacha | Agustus 25, 2008 | Balas

  21. sayang ya… di zaman sekarang ini susah sekali untuk menjadi seorang yang benar2 idealis…….. tp kenapa ya…..? susah sekali untuk mendapat buku catatan sang demonstran ini toko buku? saya uda hampir 2 tahun mencari, namun ketika saya ke toko buku selalu saja tidak “stock”. padahal saya ingin sekali baca buku ini……… buat Gie… kau pasti akan hidup selamanya didlm hati setiap demonstran dan aktivis mahasiswa…………

    Komentar oleh xaverius | September 12, 2008 | Balas

  22. […] filed in Kutipan on Sep.13, 2008 “… seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, Selalu. Mula-mula, kau membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus-menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian, penderitaan.”[*. Seperti dikutip dari https://alief.wordpress.com […]

    Ping balik oleh Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan - Heru Kuncahyono | September 14, 2008 | Balas

  23. Soe Hok Gie seusia Papi saya. Saya hanya mengenalnya lewat karangan2nya.Seperti dia, sayapun idealis, suka mendaki gunung & menyepi di alam bebas. Bahkan kegundahan hatinyapun juga sama dengan kegundahan2 dalam hati saya saat melihat praktek politik dan kehidupan sosial yang terjadi saat ini. Tapi saya hanya menyimpannya dalam hati saja. Saya terlalu takut kalau2 pengalaman pahit berpolitik yang dialami Papi saya akan terulang pada diri saya jika saya buka mulut.

    Komentar oleh Brigita | Februari 1, 2009 | Balas

  24. iya, saya juga udah lama banget cari2 bukunya tapi ga dapat; saya pengagum keberanian Soe Hok Gie, seandainya saya punya 10% saja keberanian seperti dia…

    Komentar oleh soegi | Maret 14, 2009 | Balas

  25. Soe hok Gie: dia adalah orang yang sekaliber orang2 masa pergerakan, yang melawan penindasan d jaman kolonial belanda.,.kau akan selalu d kenang dan selalu menjadi inpsrasi setiap orang,.,.

    Komentar oleh sam | Juli 9, 2009 | Balas

  26. Paduka, sampaikan salamku untuk para malaikatMu. Ampuni dan maafkan aku yang kadang tak juga mengerti ini.. Mengapa yang baik-baik harus selalu mati muda ya, Paduka. Padahal sungguh masih banyak yang ia bisa lakukan.. masih terlalu banyak..

    Komentar oleh Dani | Oktober 4, 2009 | Balas

  27. APAKAH ADA ORANG2 SEPERTI SOE HOK GIE PADA JAMAN SEKARANG INI??????????????

    Komentar oleh DOM | Oktober 19, 2009 | Balas

  28. zaman yang penuh ketidak pastian dan penindasan!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

    Komentar oleh DOM | Oktober 19, 2009 | Balas

  29. semoga perjuangan tetap abadi soe smoga perjuanganmu bisa kami ternskan

    Komentar oleh emo | November 6, 2009 | Balas

  30. Terimakasih Soe Hok Gie
    semoga apa yg selama ini kamu perjuangkan tidak menjadi sia-sia di era sekarang.amin

    Komentar oleh Epul | Desember 20, 2009 | Balas

  31. “Beruntunglah kau yg mati muda “

    Komentar oleh thufeil.surabaya | Desember 30, 2009 | Balas

  32. thanks kpd soe hok gie yg tlah membrikan contoh gambaran suatu keberanian yang sesungguhnya kpd kaum muda setelahya…tp sayang belum ada penerus yang terlihat bisa mnggantikan perannya_

    Komentar oleh aGIE | Januari 2, 2010 | Balas

  33. gie @ lo adalah inspiration ………

    Komentar oleh oOpay | Januari 9, 2010 | Balas

  34. gue baru tau sosok gie dari sebuah buku, riwayat hidupnya membuat gue jadi penasaran bnget sma gie,

    Komentar oleh affny | Juni 11, 2010 | Balas

  35. Gie engkau adalah pahlawan pemberani.. kau adalah inspirasiku….

    Komentar oleh tri | Juli 6, 2010 | Balas

  36. mgkn ada satu hikmah yg bsa dpetik dr mati mudanya soe hok gie,kematian yg datang kpadanya secara ‘tidak langsung’ menyelamatkan dirinya dr berbagai goncangan yg mungkin suatu saat akan merontokan idealismenya,perlu dketahui idealisme mahal harganya,bnyak tetua yg menggadaikan idealisme yg smula tlah dmilikinya yang pada akhrnya harus gugur dmakan ketamakan akan harta,jabatan dsb.. Maka memang mungkin tak salah ungkapan ‘berbahagialah yang mati muda’ karena mgkn dg mati mudalah kita bsa mempertahankan idealisme kita
    wallahualam. . .

    Komentar oleh ibnu nashr | Oktober 17, 2010 | Balas

  37. tak da yg bisa kta buat tuk membuat para pemimpin insyaf.. kaum kcil smakin melarat atas kta mereka yg brbunya ya tau tidak. hdup na smakin megah rakyat kecil semakin menduka.. qu menungu kdatangan sosok soe hok gei yg baru..

    Komentar oleh juki | Januari 24, 2011 | Balas

  38. saya suka sekali dengan tulisan ini..boleh saya share kepada teman-teman saya?:)

    Komentar oleh Nas | Januari 28, 2011 | Balas

  39. […] Resensi Buku Soe Hok Gie oleh Arief Budiman […]

    Ping balik oleh Inspirasi Baru « akulahitu | Januari 28, 2012 | Balas


Tinggalkan Balasan ke Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan - Heru Kuncahyono Batalkan balasan