Komentar Narsis Itu…
Awalnya saya tidak menyangka kalo komentar pendek itu bisa menghadirkan multiple effect semacam ini… Karena ketika menuliskan komentar: “wihhhh narsisnya rek… 🙂 ” sengaja tak kasih tanda senyum supaya jelas terlihat bukan mengejek, hanya sedikit mengkritik, atau menyindir lah tepatnya…
Menyindirnya pun bukan menunjukkan kalo saya tidak suka dengan postingan pak Wir, justru lebih ke arah kagum. Ya bisa dibilang rasa kagum dengan sedikit menyayangkan, kok ada kesan-kesan “sombong” gitu dalam tulisannya. Meski mungkin pak Wir sendiri tidak bermaksud “menyombongkan diri”. Karena apa sih yang bisa disombongkan dari seorang dosen itu? (bener gak pak Wir?) 😀
Tapi alhamdulillah, pak Wir menanggapinya dengan pikiran jernih dan hati yang bening. Postingan yang berjudul “wihhhh narsisnya rek!” (ada tanda pentung seru di akhir, tapi bukan dari komentarku lho ya… 🙂 ) sangat bagus. Beliau mengawali postingannya dengan mendefinisikan arti narsis, kemudian mengevaluasi diri apakah beliau narsis, sampe akhirnya sedikit “mengkhutbahi” pembaca tentang arti hidup dan ke-hidup-an ini. Postingan itu jelas untuk membela diri, tapi sama sekali tidak dijumpai kalimat-kalimat yang menyinggung si pemberi komentar (baca: cak alief) 😀
Paling yang ada adalah sindiran-sindiran, terutama di awal-awal tulisan beliau tentang profesionalisme dosen. Pada yang mana saya jelas belum selevel sama beliau dalam hal sindir-menyindir. Maklum saya kan masih muda, belum banyak pengalaman. Apalagi arek Suroboyo sejak jaman perjuangan kan terkenal suka bicara blak-blakan… 🙂
Mmmmhhhhhhh…… (ambil nafas panjang) Ini adalah kesekian-kalinya saya berkomentar pendek dan mendapatkan tanggapan panjang. Untung yang saya komentari kesemuanya adalah dosen (yang bijak lagi), jadi tanggapannya pun bijaksana dan jauh dari rasa saling membenci. Coba kalo yang tak komentari para politisi, pasti tanggapannya malah bikin panas hati… Sungguh saya banyak belajar dari beliau-beliau para dosen senior…
Gak bisa mbayangkan kalo nanti saya sudah jadi dosen senior dan sering dikritik sama yunior-yunior… 🙂 Tapi bagaimanapun bentuknya, sepanjang kritik yang disampaikan untuk membangun bersama, kenapa harus panas hati… Justru ucapan terima kasih lah yang harus diutarakan. Karena siklusnya kan: KRITIK-EVALUASI-SOLUSI-INOVASI tentunya juga disertai dengan berpikir kreatif.
Buat pak Wir, semoga saling balas-membalas (dalam kebaikan ini) bisa menjadi awal yang baik buat hubungan kita ke depan, baik sebagai sesama tukang nge-blog ataupun sebagai sesama tukang ngajar 🙂
muantab tenan rek konco ku sitok iki 🙂
lek wes jadi dosen senior… ojo lali aku yoh, wkk.
PS: salut buat para dosen dan guru-guru, jasamu tiada tara buat bangsa ini.
Mas Alief,
Saya juga dari Jawa Timur…kadang orang Jawa Timur lupa, kalau kita merasa akrab dengan seseorang, kita berani ngeledek….padahal orang lain menganggap serius.
Saya juga pernah mengalami seperti mas Alief dan saya sesali sampai saat ini, apalagi saat itu ybs membawa orang ketiga, jadi menjadi lebih keruh.
Yang penting, udah salaman kan sama pak Wir (salaman nya lewat blog aja), dari baca blog nya pak Wir, saya tahu kok kalau pak Wir baik hati dan pemaaf.
kritikan adalah langkah awal kita utk menentukan kesuksesan kita..
kayaknya kalo orang yang serius dibercandai itu bisa sampe berefek gini yah.. 🙂
trus kalo cak alief tipe apa?
Yang penting berjiwa besar, mas! 😉
No problemo… dech!
itu kan diakhiri dengan smiley = 😀
harusnya sudah bisa ditebak itu becandaan.
Um….begitu ya….wah klo komentar saya menyinggung maap ya mas…he..he…..
wah ada apa ini 🙂
biasanya habis berdebat jadi lebih akrab lho.
mahasiswanya udah nungguin tuh..!(bukan pentungan)
Wah, bisa gitu juga ya?
Guyon mathon ala marwoto kawer seru lhoo…
*halah kok OOT
*ngacir….
Kok komentar-komentar saya di blognya Pak Wir dihapus ya… (dimoderasi terus dihapus…..)
Nyesel saya ngeklik link yang dicantumnkan di artikel ini (dan mengunjunginya…)
# nRa:
terima kasih… ben imbang, yo ditambahi kritik lebih sip rek 🙂
# edratna:
terima kasih Bu atas nasehatnya…
# andi bagus:
sedelapan (setuju sekali) 🙂
# GraK:
tipe orang yang tidak mau bertipe-tipe ria 😀
# devry:
Betul… terima kasih
# antobilang:
kadang yang seharusnya itu bisa jadi tidak harus 🙂
# nanakiqu:
jelas menyinggung rek, menyinggung lapisan layar monitor komputer 😀
# kangguru:
ada apa denganmu? (sambil dinyanyikan) 🙂
# hadi arr:
kayaknya sih akan jadi seperti itu, semoga….
# danalingga:
apa sih yg g mungkin??? 🙂
# dobelden:
seru mana sama Kirun 🙂
# mathematicse:
no comment dulu yach… kuatir salah persepsi 🙂
coba tunggu dan cek lagi deh…
Kehidupan itu seperti kumpulan alat-alat rumah tangga di dapur…..
Ada panci, ada penggorengan… ada kompor…. dll…
Contoh di almari | atau rak piring saja, juga tidak murni cuma piring saja yg ada. Pasti ada yg namanya mangkuk, sendok, dan gelas dalam rak piring itu…
Nah, pasti donk… namanya terdiri dari beragam barang, sedikit banyak akan “bersentuhan”….
Contoh di dalam rak piring itu.
Pasti sedikit banyak ada piring yg “bersentuhan” dg gelas atau sendok….
Bahkan, antar piring pun bisa “saling bersentuhan”…
Kalau sudah ‘bersentuhan’, pasti ada ‘bunyinya’ iya kan..?
hehe….
Pasti yg baca komentar ini ngerti maksud saya….
=salam=
gak ono sing luwe penting tah 🙂 keh keh keh 😀
Wah, jadi rame…
kekeke~ umur & blogging kadang bisa berpengaruh loh 😀 *jelas gak komennya?!?* 😛
Waduh ada rame2 euy.. gelar tiker dulu euy.. sambil nongton..
dapa ini cak… dapa? *pura2 gak tau*
# blogkeimanan:
bunyinya, tak tek tak tek gitu kan? 🙂
# warnoise:
hehe… iki penting rek, untuk konfirmasi 🙂
# dewo:
tapi sudah sepi kok sekarang 🙂
# didut:
jelas banget…
# roffi:
jangan lupa kopi sama kacang godoknya 🙂
# jack:
wis enak’e ada apa wes??? terserah sampean aja… 🙂
aduhh emg abang satu ini bener2 narsis^____________^
Alief keluar masuk warung itu mungkin sudah tujuh kali. Entah berapa duwit yang dia habiskan, karena masuk ke warung itu pasti mengeluarkan uang. Setengah jam paling tidak Alief harus mengeluarkan sebesar Rp. 5.000. Rp 3000 untuk membayar akses internet, Rp.2000 untuk tiga batang rokok. Jadi totalnya, Rp 35.000. Itu baru perkiraanku, belum lagi tadi pagi dia membawa cewek, alief mesti menyediakan minuman paling tidak seharga Rp. 3000, berarti keseluruhannya adalah Rp. 38.000.
“Memangnya ngeblog mesti seserius itu cak?,” tanyaku, ketika berpapasan dengan Alief ketika siangnya.
lanjutan…
Alief tersenyum mendengar pertanyaanku. “Sebenarnya tidak sih, tapi aku merasa tiba-tiba harus sering mengunjungi blogku.”
“Memangnya kenapa?”
Alief garuk kepala, mikir sesuatu.
“Aku khawatir dua hal atas postinganku,” katanya.
“Dua hal? Apa itu?” Aku mengejar tanya.
“Pertama,” katanya, “Aku khawatir bila ada blogger yang mengomentari postingaku tidak sesuai dengan yang aku harapkan. Aku kira banyak blogger yang demikian. Lihat saja tuh, bila komentator berkomentar beda, lalu dikomentari dengan serius. Aku juga harus demikian, paling tidak dengan tujuan agar postinganku terselamatkan isinya dari tafsir-tafsir yang jauh melenceng dari yang aku, sebagai penulis, maksudkan.”
“Apa tidak khawatir dibilang narsis?” Aku memotong perkataanya.
“Silahkan saja disebut demikian,” jawabnya langsung. “Tapi sebenarnya bukan itu maksudku. Aku percaya hukum dialektika. Aku menawarkan tesis, pembaca melemparkan antitesis, lalu ada sintesis, dan begitulah seterusnya. Apakah bila aku mempertahankan tesisku, lalu pembaca dengan ngotot juga menawarkan antitesis, itu disebut narsis?
“Ha ha ha,” aku tertawa. “Bisa jadi ya, bisa jadi tidak. Yang kadang kurang menarik, bila tesis dengan antitesisnya malah jadi malah gak nyambung. Itu terjadi bila saling balas komentarnya sebatas debat kuda. Tapi walau demikian, gak masalah sih sebenarnya.”
“Kedua,” Alief melanjutkan, “karena aku merasa sesuatu harus aku tuliskan, dan dibaca banyak orang. Aku khawatir sesuatu itu akan hilang bila tidak segera aku tuliskan.”
“Apakah tidak narsis juga?”
Alief tersenyum lagi, tapi tidak mengucapkan sesuatu…
# deabecky:
biar narsis asal selamat mbak… 🙂
# mrtajib:
pertama, internet di sini ga bayar kang… 🙂
kedua, (mikir-mikir)….. bingung mau komentar apaan untuk ngomentari komentarnya salah satu komentator ini, khususnya komentar yang berkaitan dengan komentar saya tentang ‘narsis’. Semakin dipikir, ntar saya malah dikomentari plus disindiri lagi sama kang Tajib…
nyerah aja deh… Maqom saya belum nututi kang Tajib.
hehehe….
@ Alief : ngono tok nyerah? 🙂 piss man :p
[…] ini berkadar kenarsisan setara dengan tulisan ini atau ini. Harap menyediakan sendiri kantong untuk muntah, atau aku […]
Ping balik oleh Spike! « ngLEGENO | November 22, 2007 |
ya…sungguh sikap yang luar biasa dari seorang dosen…
# nRa:
wah lek ‘lawannya’ kang Tajib, nyerah adalah jalan terbaik rek 😀
# nudee:
trims atas pingbacknya, postingan sampean berjudul Spike, bagus juga… cerita dari negeri Malaysia 🙂
# nico:
trims komentarnya
[…] secara tak sengaja terlibat ‘perseteruan’ dengan rekan dosen dari UPH. Gara-garanya sih Komentar Narsis Itu… Namun alhamdulillah sudah berakhir dengan […]
Ping balik oleh Kaleidoskop-Blogâ„¢ cak alief 2007 (2) « Blog cak alief | Desember 21, 2007 |